Saturday, February 14, 2009
Catatan dari RECSAM
SCIENCE TECHNOLOGY ENVIRONMENT SOCIETY (STES) Approach, Peranannya Dalam Membangun Peserta Didik Berdaya Saing Global
(Catatan dari Third Country Training Programme /TCTP:
Professional Development Programme for Secondary Science Educators)
Pengantar:
Selama satu bulan, 13 Oktober – 7 Nopember 2008, Yohana Kristianti, S.Si, guru Biologi SMP Negeri 1 Purbalingga, yang juga redaktur tabloid Pemkab Purbalingga, Derap Perwira, mendapat kesempatan untuk menjadi peserta dalam Third Country Training Programme (TCTP): Professional Development Programme for Secondary Science Educators di RECSAM, Penang, Malaysia. Kesempatan emas ini diberikan oleh Departemen Pendidikan Nasional atas tanggung jawabnya sebagai pengajar bilingual mata pelajaran biologi di rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di kabupaten ini.
Kepada para pembaca setia Derap Perwira, penulis berbagi pengalaman. Semoga kita dapat memetik manfaatnya.
............................................................................................................................................................
Tak banyak orang tahu, apa itu RECSAM. Begitu pun bagi penulis, saat berkesempatan mengikuti seleksi bersama dengan 300 lebih guru pengampu mata pelajaran Matematika dan IPA dari sekolah RSBI seluruh tanah air, belum terpikirkan akan lolos seleksi dan mengikuti training selama sebulan di tempat ini. Membanggakan, sekaligus juga mengharukan, saat putera Purbalingga ikut berpartisipasi dalam kegiatan bertaraf internasional, membawa misi untuk turut memajukan pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah RSBI, bersama dengan 30 (tiga puluh) orang rekan dari daerah lain di Indonesia dan juga para peserta dari negara-negara lain.
Jika pembaca mencari kata RECSAM melalui Google, maka akan ditemukan istilah RECSAM bergandengan dengan SEAMEO, sebagai kependekan dari South East Asia Ministers of Education Organization-Regional Centre for Education in Science and Mathematics. Singkatnya, RECSAM adalah sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan yang dibentuk oleh para menteri pendidikan negara-negara ASEAN dengan maksud untuk memberi bekal ketrampilan bagi para pendidik di bidang sains dan matematika. Lembaga ini dalam melakukan kegiatannya berkolaborasi dengan International Council of Association for Science Education (ICASE) dan UNESCO Principal Regional Office for Asia and the Pacific (PROAP) dan sasaran layanannya tak hanya diperuntukkan bagi negara-negara anggota ASEAN saja.
Sesuai dengan training yang diikuti, selama berada di RECSAM, Penang, Malaysia, seluruh peserta mendapat kesempatan belajar lebih mendalam tentang ketrampilan mengajar sehingga memiliki kepercayaan diri yang memadai dan kebanggaan sebagai pengajar sains. Training ini juga bertujuan melengkapi seluruh partisipan dengan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sikap positif untuk mengembangkan pribadi siswa yang mempunyai bekal dan kemampuan penguasaan sains dan teknologi yang memadai dalam menghadapi persoalan hidup, terkait dengan isu lingkungan, politik, maupun sosial.
Selengkapnya, materi yang dipelajari selama mengikuti TCTP ini adalah Basic Computer Literacy, Classroom-based Action Research, Current Trends and Issues in Science Education, Scientific and Technological Literacy (STL) and Science, Technology, Environment and Society (STES) Education, Constructivism and Constructivist Teaching Models in Science Teaching, Alternative Assessment Methods and Procedures, Instructional Design and Project Work, serta Educational Enrichment Activities.
Menurut catatan dan pengalaman penulis selama mengikuti program, sebenarnya tidak ada isu yang baru sifatnya bagi pengembangan dan pembelajaran sains di tanah air. Beberapa materi bahkan sudah teramat sering kita pelajari di Purbalingga, melalui kegiatan-kegiatan IHT atau di bangku-bangku kuliah saat kita belajar di perguruan tinggi dulu. Namun yang menarik, juga sebagai bahan perenungan bagi kita, sejauh mana teori yang telah kita terima ini mampu kita ‘darat’kan sehingga kontinuitasnya dapat terjaga. Maka mengikuti training di RECSAM, bagi penulis adalah kesempatan untuk merecharge kembali komitmen sejauh mana kita sudah memberikan yang terbaik untuk para peserta didik.
Dari beberapa materi yang dipelajari di RECSAM, penulis ingin menyoroti materi tentang Scientific and Technological Literacy serta Science, Technology, Environment, and Society Education. Kedua hal ini pun sebenarnya bukan hal baru untuk kita, karena dalam pembelajaran sains kita juga mengenal ada istilah Salingtemas; sains, lingkungan, teknologi, dan kemasyarakatan. Sekali lagi, kontinuitas dan tanggung jawab implikasinya di lapangan menuntut kerja keras semua pihak, terlebih para pengajar sains di Purbalingga ini, sehingga kita juga mampu berperan aktif untuk membangun generasi muda yang berdaya saing global.
Teknologi dan sains merupakan dua hal yang sangat terikat erat. Pada dekade terakhir, kedua hal ini mengalami perkembangan yang sangat menakjubkan. Kita membaca, bagaimana para ahli dengan penguasaan sains dan kemampuan teknologi mampu membuat pemetaan gen, menemukan cara mengkloning hewan, dan masih banyak lagi penemuan yang merupakan bentuk kolaborasi sains dan teknologi.
Banyak pendapat yang menjawab rumusan tentang pengertian scientific literacy. National Academy of Sciences (1995) merumuskan scientific literacy adalah pengetahuan dan pemahaman tentang proses dan konsep sains yang menyatu dalam pribadi seseorang dan terimplikasi pada pengambilan keputusan, partisipasinya dalam kehidupan bernegara dan berbudaya, serta kemampuannya dalam meningkatkan produktivitas ekonomi.
Dapat pula dikatakan bahwa scientific literacy terdiri dari pengetahuan tentang fakta ilmiah, konsep dan teori yang important, pola berpikir ilmiah yang menjadi sebuah habit (kebiasaan), dan pemahaman tentang alam secara ilmiah, dimana keadaan tersebut berkorelasi positif dengan matematika dan teknologi, dan terimbas secara individual serta nampak peranannya pada kehidupan sosial.
Berdasarkan pengertian seperti tersebut di atas, kita dapat membuat simpulan bahwa individu (peserta didik) yang mempunyai sikap dan kemampuan ilmiah (scientifically literate) adalah individu yang mempunyai ciri-ciri berpengetahuan dan serta memahami konsep dan proses ilmiah yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam era kehidupan sosial digital; dapat menyebutkan, menemukan, atau menentukan jawaban atas pengalaman-pengalaman yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari; mempunyai kemampuan untuk mendeskripsi, menjelaskan, dan membuat prediksi dari gejala-gejala ilmiah yang ditemukan di alam; dapat membaca serta memahami artikel sains yang faktual untuk menarik suatu kesimpulan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sosial berdasarkan gejala-gejala yang diamati; dapat mengidentifikasi isu-isu ilmiah yang mampu menopang keputusan-keputusan (dan kebijakan pemerintah) yang bersifat lokal maupun nasional serta mampu mengekspresikan posisinya sebagai seorang yang mempunyai ketrampilan scientific literacy; dapat mengevaluasi kualitas informasi ilmiah yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari, serta mempunyai kapasitas untuk mengambil sikap dan mengevaluasi pendapat yang berdasarkan bukti ilmiah serta mampu mengaplikasikan keputusan berdasarkan pendapat yang dibuat.
Lalu apa yang dimaksud dengan technological literacy? Technologically literacy adalah kemampuan untuk memahami dan mengevaluasi teknologi. Pengertian ini meliputi kemampuan untuk mencipta, menggunakan, mengelola, mengakses, dan memahami teknologi sebagai bagian penting dalam menunjang kehidupan manusia. Sebagaimana kita ketahui, tuntutan abad 21 adalah terciptanya generasi muda yang tak hanya mempunyai ketrampilan ilmiah saja, tetapi tuntutan jaman memaksa kita untuk membantu siswa didik (dan juga guru) mempunyai ICT skills, utamanya pemanfaatan komputer dalam menunjang proses pembelajaran sains.
Maka, peserta didik yang mempunyai technologically literate adalah berciri memahami alam dan peranan teknologi di dalamnya; memahami bagaimana sistem teknologi didesain, digunakan, dan dikontrol; dapat menghargai manfaat dan merespon resiko yang mungkin timbul dari pemanfaatan teknologi.
UNESCO (1999) merumuskan STL (scientific, technological literacy) sebagai pemahaman dan penerapan konsep, ketrampilan proses, sikap dan nilai-nilai yang memampukan individu untuk menghubungkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hidup dan budaya sosial mereka. STL diterapkan untuk melengkapi ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari; untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan memperkaya serta meningkatkan kualitas hidup manusia.
Sedangkan aspek terpenting dari STES (Science Technology Environment Society) adalah bahwa pembelajaran sains harus mampu memberikan informasi dan membantu siswa untuk mengklarifikasi nilai-nilai yang ada di dalam dirinya, mengembangkan ketrampilan ilmiah untuk dapat terlibat secara aktif dalam memberikan argumentasinya terhadap isu-isu lingkungan terkini serta bagaimana belajar mendiskusikan implikasi sains pada tataran moral dan etika.
Lebih khusus, guru tidak hanya membantu bagaimana siswa dapat mencapai hubungan STES tetapi juga mendidik mereka sehingga mampu berperan aktif mengembangkan tanggungjawab sosial serta mengintegrasi hal-hal baru dalam perkembangan intelektual dan etika sosial mereka.
Untuk mewujudkan peserta didik yang mempunyai kemampuan mengintegrasi STES, strategi dan metode pembelajaran adalah kata kunci yang harus dikuasai oleh guru. Strategi pembelajaran STES didasarkan pada pendidikan moral melalui kelompok diskusi, cooperative learning, problem solving, dan ketrampilan berpikir kritis.
Sedangkan metode yang didesain untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai yang lebih jelas tentang isu STES adalah value dilemma sheet, STES action dramas atau role play, action voting, case studies serta STES action project.
Beberapa isu faktual yang bersifat global dan penting pula untuk dipelajari siswa didik antara lain adalah pertumbuhan populasi penduduk, teknologi perang, sumber pangan dan isu kelaparan, polusi udara dan ketersediaan sumber air bersih, pemanfaatan lahan, keterbatasan sumber energi fosil, bahan kimia berbahaya, kesehatan manusia dan penyakit, kepunahan tumbuhan dan hewan, sumber mineral, serta reaktor nuklir.
Kalau kita cermati, isu global tersebut juga menjadi topik-topik yang dibahas pada pembelajaran sains siswa sekolah menengah di Indonesia. Tinggal sekarang, bagaimana guru bisa mengambil peran aktif untuk membangun konsep STES, membentuk individu pembelajar yang responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, individu yang bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan sehingga mampu menopang kehidupan sosial yang berkualitas dan berkelanjutan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment