MENJADI AGEN PERUBAHAN
Menarik sekali bila kita menyimak tulisan Rhenald Kasali, lewat bukunya “Re-Code Your Change DNA”. Penulis mengutip sedikit, pengalaman Kasali yang melatarbelakangi ditulisnya buku tersebut, barangkali juga sering kita hadapi dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika jaman menuntut perubahan yang demikian pesat di semua lini kehidupan (kemajuan teknologi, penguasan iptek, ICT, dll), selalu saja ada sekelompok orang yang tetap ‘diam terpaku’, dan merasa tak harus ikut irama gairah perubahan itu. Malah kata mereka ,” Dari dulu kita sudah seperti ini, lalu mau diapakan lagi?”
Keadaan seperti di atas, seringkali juga terjadi tak hanya pada individu sebagai seorang pribadi tunggal yang secara fisiologis tidak berhubungan dengan pribadi lain, tetapi seringkali juga terjadi pada kumpulan individu dalam suatu kehidupan sosial di masyarakat dan institusi Sering kita temui, perubahan positif karena tuntutan jaman yang tidak mampu kita elakkan, mendapatkan tatapan mata sinis atau cibiran yang, kalau tidak tahan, akan membuat agen-agen perubahan menjadi ‘mengkeret’ karena dianggap sok pinter, ‘kemlithak’, atau sikap negatif sejenisnya.
Tak perlu kita sangkal, kultur masyarakat yang demikian memang menjadi tantangan tersendiri. Kebanyakan orang tidak tertarik untuk berubah karena memang mereka merasa belum membutuhkan produk perubahan itu sendiri. Sementara orang masih menganggap kalau perubahan itu sebagai allergen, jadi mereka berupaya untuk menghindarinya. Belajar bahasa Inggris, misalnya. Ketika ada segelintir orang yang sudah open minded dan menganggap perlu mempelajari bahasa ini, sebagian orang malah mentertawakan dan menganggap hal itu sebagai sebuah sikap yang ke-inggris-inggris-an, sok, dan cari muka. Atau ketika stasiun televisi menyajikan iklan “Internet Go to School”, dan merealisasikannya dalam bentuk promosi ke sekolah-sekolah seperti yang dilakukan oleh sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini misalnya, jujur saja kita akui, banyak diantara kita yang masih melihatnya sebagai sesuatu yang absurd, impossible to do, atau sikap skeptis lainnya, sehingga kita hanya berani mengakui (dalam hati) bahwa anak didik kita lebih hebat memanfaatkan produk teknologi ini. (Hah? Hari gini masih ada orang yang berpikiran demikian?)
Menurut pendapat penulis, sikap demikian sangat berbahaya kalau sampai diadaptasi oleh kalangan pendidik atau mereka-mereka yang mengaku sebagai masyarakat berpendidikan. Mengapa berbahaya? Karena pesimis dan skeptis adalah faktor penghambat kita untuk belajar, termasuk di dalamnya menerima perubahan. Mencoba untuk selalu berpikir terbuka dan menerima perubahan dengan arif adalah langkah yang paling bijaksana. Tak perlu malu untuk mengakui, bahwa anak didik kita mempunyai kemampuan menyerap perubahan dengan sangat cepat, atau kita belajar pada orang yang lebih dahulu mengikuti perubahan tersebut. Karena usia bukan suatu patokan untuk mengukur kapabilitas seseorang. Apa salahnya kita belajar dari mereka? Bahkan ketika kita mampu berteman dekat dengan mereka, tanpa kita sadari kita pun telah menjadi agen perubahan, setidaknya kita dapat mengajak mereka memanfaatkan produk perubahan itu sesuai dengan koridor yang sesungguhnya, misalnya ketika kita mendapati anak-anak bermain internet, kita percaya mereka akan memanfaatkannya untuk menambah wawasan keilmuan mereka, bukan untuk menambah ‘akumulasi toksin ‘ dalam jiwa mereka karena tersesat pada situs-situs yang bukan selayaknya mereka kunjungi. (Atau malah kita sendiri yang suka berkunjung ke sana? Semoga tidak).
Penulis optimis, pendidik sudah seharusnya menjadi agen perubahan yang pertama. Tak perlu menunggu orang lain berubah, baru kita menyusul. Atau inilah bukti teori Prof. Jo (Yohanes Surya-fisikawan terkemuka di negeri ini, bahkan juga di manca negara) yang saat ini juga sering dibicarakan orang tentang teori MESTAKUNG (=semesta mendukung). Orang akan cenderung berubah, ketika dia sudah di’bentur’kan pada kondisi yang memaksa dia berubah, bukan pada saat perubahan itu mulai merambah masuk dalam kehidupan kita. Dalam keadaan ini, orang akan menerima sebuah perubahan dalam kondisi yang ‘babak belur’, karena dipaksa untuk siap berubah. Penulis yakin kondisi ini jauh lebih baik karena pembaharuan hidup pasti akan kita alami. Idealnya, kalau saat ini memang kita harus berubah, mengapa menunggu nanti? Jangan sampai ketika perubahan ini melaju demikian pesat, dan kita masih tertinggal jauh di belakang, tak mampu mengejarnya, baru kita menyadari, “Andai saja aku mau berubah saat itu…..”. Ya, perubahan adalah tuntutan dan sikap kita adalah pilihan. Menjadi orang yang bijaksana memandang orang lain yang lebih dahulu berubah dan berbuah, adalah sebuah kesempatan emas untuk menjadi seorang agen perubahan. Sebuah kalimat bijak yang penulis adopsi dari Rhenald Kasali patut kita renungkan bersama, “ Orang yang anda olok-olok belum tentu sebagai pesakitan yang harus dibunuh. Ia hanya “keliru” di mata mereka yang bekerja secara konvensional, menggunakan nilai-nilai dan cara-cara lama. Orang yang saat bekerja dianggap keliru, dapat saja berarti pembaharu di lain waktu………..”. Rekan pendidik, selamat menjadi agen perubahan untuk menuju pembaharuan dunia pendidikan.
No comments:
Post a Comment