BERBENAH MENJADI AGEN PENGUBAH PENDIDIKAN
Sebagai seorang guru, keinginan untuk membuat siswa didik menjadi pintar dan kelak dapat menjalani hidupnya dengan berhasil, adalah sebuah doa yang setiap saat kita panjatkan. Guru, tak hanya bertugas mentransfer ilmu semata, tetapi berkembangnya karakter positif seorang siswa adalah juga menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Maka, disadari atau tidak, seorang guru harus benar-benar mampu menjadi agen pengubah dan pencerah menuju sebuah progesivitas dalam dunianya, pendidikan.
Namun, terkejut dan sedikit kecut hati kita saat membaca judul sebuah artikel tentang pembangunan manusia, seperti yang dikutip untuk judul tulisan ini: SOS Dunia Pendidikan Indonesia, pada harian Kompas, Senin, 10 Desember 2007. Menyimak baris demi baris kalimat dalam artikel tersebut, pantaslah kalau kita menjadi pesimis. Dituliskan, penurunan indeks pendidikan dunia yang dilaporkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan cermin rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana kita mengerti bersama, bahwa modal manusia (human capital) adalah kunci penting untuk mewujudkan abad ke -21. Modal manusia yang dimaksudkan di sini tak cukup hanya jumlah penduduk sebagai kekuatan tenaga kerja dan pasar yang besar, tetapi juga tingkat ketrampilan (=pendidikan) dan kesehatan manusianya.
Kabar yang justru amat memprihatinkan, memasuki abad 21, modal manusia Indonesia malah sangat terbilang kedodoran. Pada tahun 1997 Indonesia menduduki peringkat 99 dunia. Berturut-turut 102 (2002), 111 (2004), 110 (2005), dan 107 (2007). Disandingkan dengan negara Asia lainnya, Srilanka (99), Filipina (90), China (81), Thailand (78), Malaysia (63), Brunei (30), Korea Selatan (26), Singapore (25) dan Hongkong (21), nampak sekali bahwa posisi Indonesia masih membutuhkan waktu panjang untuk mengejar ketertinggalan itu.
Dilaporkan, capaian siswa kita secara umum sangat memprihatinkan sebagaimana terlihat dari hasil ujian nasional dan terus terpuruknya Indonesia pada posisi papan bawah dalam berbagai tes berstandar internasional yang pernah diikuti.
Dalam survei tiga tahunan Programme for International Student Assessment (PISA), pada tahun 2003 Indonesia berada di urutan 40 dari 40 negara dalam bidang Matematika, IPA, maupun membaca.
Begitu pula hasil kajian Trends in Internasional Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2003, Indonesia berada di urutan 34 dari 45 negara. Kalah jauh dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore.
Perbedaan antara PISA dan TIMSS adalah PISA menilai kemampuan siswa di bawah usia 15 tahun untuk bidang membaca, Matematika, dan IPA. Sedangkan TIMSS menilai ketrampilan siswa kelas IV sekolah dasar (SD) dan kelas II sekolah menengah pertama (SMP) saja untuk dua bidang yaitu Matematika dan IPA.
PISA merupakan program Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pengembangan (OECD) yang tidak sekedar mengukur kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan atau mengoperasikan teknik matematika, tetapi juga dimaksudkan untuk melihat dan membandingkan sejauh mana siswa siap menghadapi tantangan masa depan. Karena pemecahan masalah mulai dari mengenal, menganalisis dan menformulasikan alasannya sampai mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang dimiliki kepada orang lain adalah ketrampilan yang diajarkan di sekolah, yang kita akui, persentase kita untuk hal-hal tersebut memang masih sangat rendah.
Lalu, parameter apa saja yang sebenarnya mengindikasikan majunya sektor pendidikan pada sebuah negara? Ternyata tak cukup hanya angka melek huruf saja yang harus ditingkatkan. Produktivitas, kesiapan pakai dari lulusan sekolah, atau tingkat kemampuan inovasi, mestinya juga menjadi parameter yang harus terus diperjuangkan keberhasilannya.
Akses untuk memperoleh layanan pendidikan, dicatat pula sebagai faktor rendahnya mutu pendidikan kita. Karena disparitas antar wilayah, persentase anak usia sekolah di Papua tentunya juga sangat jauh berbeda dengan propinsi-propinsi di Jawa, sekalipun untuk Kabupaten Purbalingga, kita yakin disparitas wilayah bukan lagi soal yang menyebabkan turunnya kesempatan masyarakat memperoleh layanan pendidikan.
Kutipan tulisan dari media Kompas tersebut sungguh membuat kita serasa tertampar. Muncul juga rasa pesimistis di dalam hati. Lalu, apa yang selama ini sudah kita berikan untuk siswa didik kita. Tetapi, bukankah kita pantang berpatah arang? We never give up!! Slogan yang terbaca di dinding kelas, tiba-tiba saja menjadi penyemangat yang luar biasa. Ya! Kalau anak-anak didik kita pun mengatakan tak akan pernah menyerah, mengapa kita yang justru mlempem? Ya, kita hanya bagian dari sebuah sistem yang terus berputar. Sembari mengikuti putaran sistem, sangat mungkin bagi kita untuk membuat perubahan-perubahan kecil dan bermakna, misalnya bagaimana kita sudah menjadi pelayan yang baik dan setia kepada siswa didik kita.
Bolehlah artikel yang menuliskan tentang keterpurukan dunia pendidikan kita itu, menjadi sebuah kesempatan berintrospeksi tentang langkah yang selama ini sudah kita tempuh. Kita tetap optimis, bahwa kita tidak berada di dasar jurang, dan jangan sampai terhempas ke dasar jurang. Lewat tebing terjal pun, selalu ada jalan menuju puncak bukit. Dengan kata lain, masih sangat banyak kesempatan untuk berbenah, dan berbuat!Sangat tepat langkah yang sudah diupayakan Pemerintah Kabupaten Purbalingga untuk menempatkan pendidikan sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan, di samping tiga pilar yang lain yaitu kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan pembangunan perdesaan. Karena pendidikan yang maju akan menjadi tolok ukur kemampuan sebuah bangsa untuk bersaing dan disegani dengan bangsa lain. Butuh kesiapan pasukan yang tangguh untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan dalam bidang ini. Dan guru, pasti punya banyak kekuatan untuk turut serta mengubah dunia, menuju sebuah pencerahan menyongsong kehidupan di era global. Mewujudkan mimpi membangun manusia Indonesia seutuhnya adalah juga bukan sesuatu yang gampang. Satu pertanyaan untuk menjadi bahan renungan, “Sudahkan kita mengubah diri kita untuk turut serta mengubah dunia pendidikan bagi wajah Indonesia?”
No comments:
Post a Comment