Saturday, February 14, 2009

New Experience in BPGHS

Twinning Program SMP Negeri 1 Purbalingga dan BPGHS

“KUMANDANGKAN LAGU KEBANGSAAN SETIAP PAGI”

Keinginan untuk terus belajar dan menempa diri menjadi yang terbaik adalah cita-cita yang terus diwujudkan oleh SMP Negeri 1 Purbalingga. Sebagai satu-satunya sekolah menengah pertama di Purbalingga yang mendapat kepercayaan dan kebanggaan masyarakat, dengan statusnya sebagai rintisan SBI, langkah inovatif dan progresif selalu dilakukan dengan berbagai cara.
Satu langkah inovatif yang perlu mendapatkan dukungan dan apresiasi positif adalah dengan terealisasikannya Kunjungan Belajar ke Bukit Panjang Government High School Singapore, hasil dari Right of Discussion kedua petinggi sekolah ini pada tanggal 4 Pebruari 2008 di Purbalingga.
Selama lebih kurang 7 (tujuh) hari sejak tanggal 29 Maret – 5 April 2008, tim SMP Negeri 1 Purbalingga yang terdiri dari Wasis Andri Wibowo, S.Pd (Kaprodi SBI, Guru Bahasa Inggris), Nurhadi Santosa, S.Pd (Kaprodi Intensif, R&D, Guru Matematika), Yohana Kristianti, S.Si (Kaprodi Immersi, Guru Biologi, yang juga redaktur Derap Perwira), beserta 6 (enam) orang siswa Arina Pramudita Triasti, Dinar Ajeng Pratiwi, Taufik Widi Nugroho, Farahditya Putri Purwandini, Aji Bagus Panuntun, dan Zuhry Abdi Rahmani, berkesempatan mengikuti langsung proses pembelajaran di Bukit Panjang Government High School Singapore.
Terdapat banyak hal yang bisa menjadi catatan yang layak untuk dikaji dan apabila mungkin perlu untuk diadaptasikan sesuai dengan kondisi yang ada pada dunia pendidikan di kabupaten tercinta ini. Memang, tak semua yang terlihat di sana baik atau sempurna adanya, ada pula beberapa hal yang tidak pantas untuk kita adaptasi, karena memang inilah makna kunjungan belajar yang sesungguhnya, belajar tentang yang baik, yang adaptable and adoptable, sesuai dengan kondisi sekolah. Beberapa catatan pada paragraf-paragraf di bawah ini mungkin dapat kita jadikan bahan diskusi dan perenungan untuk kemajuan SMP Negeri 1 Purbalingga atau sekolah - sekolah lain di kabupaten ini.

Pembaca pasti tahu, Singapore adalah negeri dengan keterbatasan Sumber Daya Alam. Tak ada sumber air yang melimpah, hutan, ruang gerak yang teramat sempit, jumlah penduduk yang sedikit, dan banyak keterbatasan lain yang tidak sebanding dengan beribu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Bahkan, saking inginnya negeri ini meluaskan wilayah daratnya yang demikian sempit, kawasan perairan pernah dipadatkan dengan timbunan pasir. Dari mana? Yang pasti pasir dari wilayah Indonesia, hasil hitungan bisnis sembrono yang mengabaikan kelestarian lingkungan.
Kita tidak akan berbagi soal pasir kita yang diangkut untuk menguruk lautan Singapura. Tetapi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki Singapura ternyata dalam perjalanan sejarahnya mampu melahirkan generasi yang memiliki daya juang tinggi, selalu melakukan inovasi dan pembaharuan dengan mengerahkan segenap potensi SDM yang ada. Seperti teori dalam ilmu genetika, potensi genetik hanya menyumbangkan sedikit sifat yang diturunkan, selebihnya? Faktor lingkunganlah yang lebih dominan untuk membentuk karakter manusia yang saat ini mampu menjadi andalan. Tak heran, kalau generasi yang saat ini menggerakkan dinamika Singapura adalah buah pemikiran untuk masa 20 (dua puluh) tahun yang lalu. Atau dengan kata lain, generasi penerus saat ini, dengan segala sistem yang mengaturnya, didesain untuk menghadapi tantangan jaman pada 20 (dua puluh ) tahun yang akan datang. Kemudahan yang didapat melalui pemanfaatan IPTEK benar-benar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan hampir 4 juta penduduknya. Sarana pengolahan air limbah, sampah, transportasi, komunikasi, energi, dan kemudahan-kemudahan lain (juga yang kami temukan di sekolah) semuanya berbasis teknologi. Sebuah negeri yang pernah diimpikan kini benar-benar ada dalam genggaman tangan rakyat Singapura.
Mengapa kondisi seperti itu dapat tercipta di tengah keterbatasan sumber daya alam, luas wilayah, dan juga jumlah penduduk? Jawabannya adalah karena pendidikan di Singapura merupakan satu dari dua hal yang utama mendapatkan prioritas, setelah pertahanan dan keamanan. Tak heran, dalam perjalanan negeri yang merdeka pada tahun 1965 ini, pendidikan menjadi aset utama dan daya tarik tak hanya bagi warga Singapura sendiri tetapi juga masyarakat dunia yang memercayakan pendidikannya di negeri kebun ini. Bahkan, bagi sebagian anak muda yang dilahirkan dari keluarga bermodal besar (orang Indonesia juga tentunya), Singapura adalah tempat mempersiapkan masa depan melalui sistem pendidikannya yang terbilang cukup maju. Bagi warga Singapura, mereka mempunyai keyakinan bahwa pendidikanlah yang mampu menciptakan generasi muda yang kompetitif di tengah persaingan global. Bahkan, menurut cerita teman saya, semua orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya minimal pada tingkat pendidikan dasar, hukuman penjaralah jawabannya.
Selain itu, Singapura, yang jauh lebih muda usianya dari negara kita, menjadi salah satu negara termakmur di Asia telah menjadi salah satu pusat jaringan perdagangan internasional yang cukup sibuk. Semua itu ikut menjadi aset bagi Singapura dalam membangun pendidikan. Itu sebabnya, proses belajar mengajar tidak hanya berlangsung di kelas, tetapi juga dari kehidupan nyata yang terjadi di sekitar mereka, yang tak pernah cukup kita pelajari dalam 7 (tujuh) malam saja.
Sebagaimana kita ketahui, negeri singa ini adalah negeri dengan beragam budaya yang berasal dari berbagai ras. China, India, Arab, Melayu (bangsa asli Singapura), Eropa, dan masih banyak lagi, adalah ras-ras yang memperkaya budaya Singapura. Mereka terbiasa hidup dalam kebersamaan dan keharmonisan, di pemukiman, sekolah, mal-mal, kantor-kantor pemerintah, dan hampir setiap sudut kota. Kebiasaan hidup bersama dengan heterogenitas yang cukup tinggi ini ternyata memampukan Singapura untuk membina keberlangsungan hidupnya melalui kesamaan gerak dan cita-cita, nyaris tanpa konflik. Tidak ada diskriminasi, tidak ada marginalisasi, semua mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang dan memajukan negeri. Tata tertib dan peraturan disiapkan untuk mengatur seluruh warga negaranya, tanpa pembedaan.
Dan Bukit Panjang Government High School (BPGHS) adalah salah satu sekolah favorit dari 20 (dua puluh) sekolah favorit di Singapura. Sekolah yang memiliki murid kurang lebih 1500 orang ini, guru dan karyawan 120an orang, selalu terlihat dinamis dari pagi hingga petang. Sebagai salah satu sekolah terbaik di Singapura, BPGHS juga selalu menjadi sekolah rujukan untuk sekolah-sekolah lain di Singapura. Maka, saat kami berkunjung ke sanapun, ada beberapa guru dari sekolah lain di Singapura yang tengah ’ngangsu kawruh’ seperti kami.
Seperti halnya negara kita, sistem pendidikan di Singapura juga dikendalikan oleh Ministry of Education ( Indonesia = Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Dengan sistem yang tertata rapi, ditunjang perangkat hard ware, soft ware, serta brain ware yang sangat bagus, BPGHS juga mempunyai kesempatan yang luas untuk berkiprah memajukan Singapura dari sisi pendidikan. Semua siswa diberi kesempatan dan hak yang sama untuk mengembangkan diri dan potensinya melalui berbagai kegiatan kurikuler maupun ko-kurikuler. Bahkan, untuk siswa yang berpotensi tetapi berasal dari keluarga kurang mampu pun, BPGHS memberikan bea siswa untuk biaya sekolah dan free breakfast setiap hari.
Struktur organisasi sekolah memungkinkan diakomodasinya segala kepentingan yang menyangkut kelancaran proses untuk menghasilkan output yang berkualitas. Sekolah dikomandani oleh seorang Principal (Kepala Sekolah), dibantu 2 (dua) orang Vice Principal (wakil kepala sekolah), yang membawahi beberapa divisi seperti Science, Bahasa Melayu, Bahasa Mandarin, Administrasi, dan sebagainya. Semua guru dan karyawan memahami benar akan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga disiplin dan efiensi waktu merupakan ciri utama segenap SDM di sekolah ini. Tak pernah terlihat guru dan karyawan menghabiskan waktu untuk mengobrol selain pada waktu-waktu istirahat, apalagi ’nyambi’ berbelanja. Waktu-waktu luang di luar jam mengajar digunakan untuk menyelesaikan tugas maupun persiapan-persiapan mengajar, atau berdiskusi dengan teman sejawat tentang mata pelajaran yang mereka ampu.
Dalam proses pembelajaran di kelas, semua guru menguasai Bahasa Inggris (bahasa nasional Singapura adalah Melayu, Mandarin, Inggris, dan Tamil) dan ICT, pada setiap mata pelajaran yang hanya berjumlah 9 (sembilan). Pembelajaran kontekstual dan partisipatif, cukup kental nuansanya, sehingga siswa didik benar-benar memperoleh pengalaman belajar yang berkesan.
Budaya paling menonjol yang terlihat dalam kehidupan sekolah keseharian adalah sikap disiplin, teratur, biasa dengan antre (bukan ’regudugan’ = banyumas) serta menjaga lingkungan sekolah selalu bersih. Bagi BPan (sebutan untuk siswa di BPGHS), menjaga dan menerapkan hal-hal tersebut adalah sebuah kewajiban, tak hanya di lingkungan sekolah tetapi budaya ini sudah menjadi keseharian Singaporean. Di kantin sekolah pun demikian, tak terlihat siswa-siswa berebut mendapatkan makanan. Semuanya antre, tidak ada yang main serobot, dan ini dilakukan dengan penuh kesadaran. Kita pasti bertanya, butuh berapa waktu untuk mengkondisikan siswa sehingga menemukan keteraturan yang sudah terpola demikian cantik? Yang pasti bukan perjuangan dari sekolah semata, tetapi guru, adalah seseorang yang patut menjadi teladan pertamanya.
Pada proses pembelajaran di kelas, seperti halnya di Indonesia, guru pun harus mempersiapkan Lesson Plan. Tak boleh sembarangan, karena perangkat mengajar ini akan disertakan pada saat supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah beserta dengan Ketua Divisi Rumpun Mata Pelajaran untuk mendapatkan sertifikat profesional dan berkinerja tinggi sehingga guru akan memperoleh gaji dan insentif yang lebih dari kata memadai. Apabila hasil supervisi belum memadai untuk diberikannya penilaian yang meningkat, jangan harap pula kita akan mengalami kenaikan pendapatan. Ya, di Singapura segalanya tidak ada yang gratis, jadi kita jangan berharap akan mendapatkan gaji tinggi hanya dengan mengajar seenaknya, merasa sudah menggunakan laptop, siswa disuruh belajar sendiri, gurunya pergi entah ke mana. Dan peraturan ini tak hanya di sektor pendidikan, semua pegawai pemerintah, pegawai swasta di sektor manapun, akan mendapatkan penilaian kinerja yang sama untuk meningkatkan pendapatan. Jadi, semuanya profesional dan kompeten.
Dari sisi fasilitas, sulit rasanya untuk membuat suatu komparasi dengan sekolah kita yang ada di Purbalingga karena Singapura adalah negara kaya yang mampu mendanai semua itu. Tetapi sisi positif yang dapat kita petik adalah, bagaimana fasilitas itu digunakan secara tepat oleh SDM-SDM yang hebat. Maka, kita tidak akan temukan (berdasarkan penuturan rekan guru di BPGHS), BPan mengunjungi blog-blog atau sub domain guru dan memberikan komentar yang tidak terkait dengan subyek mata pelajaran yang diampu guru tersebut, atau larangan kunjungan ke situs-situs porno, adalah sebuah kebijakan yang telah diambil dan diterapkan sejak tahunan yang lalu (kalau tidak salah Indonesia baru memblokir situs-situs tersebut per 1 April 2008). Jangan heran kalau guru di Singapura (dan BPGHS tentunya) wajib membuat blog atau sub domain untuk mendukung pembelajaran e-learning, sehingga interaksi dengan siswa didik tidak terbatasi dengan dinding ruang kelas. Ya, guru yang mendekati pensiun pun mereka amat terampil menerapkan ICT.
Sisi menarik lainnya yang sempat kita temukan di sekolah ini (dan seluruh Singapura tentunya) adalah tidak dikenalnya budaya copy file, buku, kaset, dan lain-lain. Semua warga negara memahami benar pentingnya perlindungan hak cipta atas karya seseorang, sekalipun itu selembar soal ulangan! Agak malu juga saat kita ke BPGHS dengan membawa flashdisk, hardisk external,...semuanya kembali dibawa pulang dengan ’kosong mlompong’. Jadi ingat kalau di sekolah, aktivitas copy-mengcopy hak cipta orang lain adalah hal yang lumrah dilakukan, tanpa sangsi apapun. Apalagi perangkat pembelajaran, selalu menjadi sasaran copy-an yang selalu dilakukan oleh banyak orang. Satu guru di sekolah tertentu yang membuat, lainnya foto copy, dan ganti identitas. Gampang sekali. Benar, kan?
Untuk kepadatan materi pembelajaran MIPA, sepertinya kita juga tidak jauh berbeda. Yang sedikit membedakan adalah kelengkapan fasilitas sehingga tak perlu ada yang rebutan untuk menggunakan ruang laboratorium atau alat peraga. Bahkan, uniknya, Singapura sekalipun negara maju, siswa di sekolah juga masih diajarkan mata pelajaran tata boga, ketrampilan tangan seperti membuat patung, membatik, ketrampilan pertukangan, dan sebagainya. Jadilah, aroma wangi muffin yang dibakar dalam microwave besar, berpadu dengan adonan ’lempung’ di ruang hasta karya, dimana tangan-tangan terampil membuat patung-patung mungil dengan iringan gamelan (mereka sudah belajar gamelan jauh sebelum kenal dengan Purbalingga) yang juga membawakan tembang Ricik-ricik, Kebo Giro, dan sebagainya. Sungguh sebuah lingkungan sekolah yang eksotis, balutan yang harmonis antara modernitas dan tradisional!
Dan, ketika saya berkesempatan masuk ke kelas Sastra Melayu, siswa tengah berdiskusi tentang lagu Rumah Kita yang dinyanyikan kelompok musik God Bless, dari Indonesia. Setelah itu, mereka melanjutkan dengan bedah puisi. Yang membuat saya heran, bangga, tapi juga malu, semua puisi yang dipilih adalah karya penyair-penyair Indonesia! Toto Sudarto Bahtiar, Rendra, Rangga,.....Kekayaan bangsa kita ternyata mendapatkan perhatian sangat besar bagi bangsa lain!
Sedangkan kegiatan Lesson Study, seperti yang kita lakukan di Purbalingga, adalah hal biasa yang dilakukan oleh para guru di BPGHS dan hampir semua sekolah di Singapura. Kolaborasi ini selalu menghasilkan energi yang jauh lebih baik untuk memberikan layanan paling prima bagi siswa didik. Sehingga, sekalipun setiap kelas memuat 40 (empat puluh) siswa, namun layanan terbaik bagi semuanya tetap dapat diberikan.
Untuk memupuk jiwa nasionalisme, setiap sekolah di Singapura wajib memulai kegiatan pembelajarannya setiap hari dengan apel pengibaran bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Kita bisa membayangkan, bagaimana mungkin ritual semacam ini rutin dilakukan setiap hari tanpa ada pihak yang protes dan merasa keberatan. Andai saja kita juga dapat melakukannya, pasti kebanggaan sebagai bangsa jauh akan lebih terasa, tak hanya bagi siswa tetapi juga guru.
Ya, pengalaman melakukan kunjungan belajar ini semoga menjadi motivasi kita untuk siap belajar dan berubah menjadi jauh lebih baik dalam menghadapi tantangan jaman. Dan Singapura bukan satu-satunya referensi untuk belajar. Menggali potensi diri untuk dikembangkan dengan niat baik, adalah modal yang jauh lebih bermakna. Kita hebat kalau kita menganggap diri kita hebat. Kita kecil tak berarti kalau kita menganggap diri kita kecil dan tak berarti. Maka pesan Wakil Bupati Purbalingga, Drs. Heru Sujatmoko, M.Si, sebelum berangkat dulu, hendaknya tetap menjadi pegangan dimanapun kita berada, tak boleh minder, tetapi juga jangan sombong. Begitu pula dengan pesan Penasehat Komite SMP Negeri 1 Purbalingga, Heni Ruslanto, S.E, pada saat menyambut tim Kunjungan Belajar ini pulang; Banggalah dengan milikmu, karena kita juga mempunyai banyak potensi yang layak untuk dibanggakan! Terus belajar, tapi jangan tinggalkan jati dirimu sebagai bangsa!

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Purbalingga, Purbalingga, Indonesia

Purbalingga from Another Side

Purbalingga from Another Side
Close to The Amazing Purbalingga